Rabu, 09 Desember 2009
Perbedaan Itu Indah
Ada kebiasaan menarik yang bisa dipetik dari Habib Muhammad Lutfi bin Ali bin Yahya Pekalongan. Setiap kali Ramadhan datang menjelang, Beliau segera mengubah total jadwal kegiatannya. Waktu yang sebulan penuh itu, khusus dimanfaatkannya untuk beribadah secara total. Waktu tidurpun juga dibatasi, hanya sekitar dua hingga tiga jam sehari.
Selebihnya hanya dipergunakan untuk mentadarus Al Quran, sholat, berdzikir dan berdoa, mengajar santri Ramadhan yang datang dari berbagai daerah serta kegitan ibadah lainnya. Maka jangan heran kalau beliau mampu mengkhatamkan Al Quran dalam waktu sehari semalam.
Itulah pasalnya, setiap kali ada undangan ceramah ke luar kota, tak pernah dihadirinya. Padahal pada bulan-bulan diluar Ramadhan, hal itu kerap sekali dilakukannya. “Dengan menigkatkan ibadah dibulan Ramadhan, akan mencegah hawa nafsu dan membersihkan diri dari dosa-dosa, “ terangnya singkat.
Kalau ditinjau dari sisi kesehatan saja, katanya, puasa itu sebagai proses pembersihan tubuh. Diibarat kannya, tubuh manusia itu bagai sebuah bejana yang tak pernah dicuci. Padahal selama sebelas bulan dipergunakan untuk memasak aneka makanan. Karena tak pernah dibersihkan,
Tentu pencernaan kita tak dapat melakukkan metabolisme tubuh dan menghasilkan darah yang baik. Padahal darah inilah yang bertugas memasok makanan keotak. “ Jika hanya diberi obat pencuci perut saja, tentu tak akan sampai kedasar pencernaan tempat berkumpulnya virus dan kotoran,” jelasnya. “ Jadi, hanya puasalah yang menjangkaunya, “tandasnya.
Habib Luthfi demikian beliau lebih karap dikenal, dilahirkan di Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senen tanggal 27 Rajab 1367 H., bertepatan dengan tanggal 10 November tahun 1947 M.
Setelah mendapatkan bimbingan dari Ayahandanya al-Habib al-hafidz ’Ali al-Ghalib, dirinya masuk ke sebuah madrasah Salafiyah. Setelah tiga tahun berada disana, lalu melanjutkan studinya kepondok pesantren Bendokerep, Cirebon, Jawa barat. Disamping itu beliau juga pernah nyantri di pondok pesantren Kliwet Indramayu, berguru kepada Kyai Said Tegal, serta belajar kepada Kyai Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas bin Ali di Purwokerto.
Disamping memperdalam ilmu-ilmu di bidang syari’ah, juga belajar ilmu thariqat dan tasawuf. Dari para gurunya tersebut, beliau mendapatkan ijazah khusus dan umum. Baik itu berkenaan dengan dakwah dan nasyru syari’ah, thariqat, tasawuf, kitab-kitab hadis, tafsir, sanad, riwayat, dirayat, nahwu, maupun kitab-kitab tauhid, bacaan-bacaan aurad, hizib-hizib, kitab-kitab shalawat, kitab thariqah, sanad-sanadnya, nasab-nasab, kitab-kitab kedokteran dan lain sebagainya.
Melihat ke’alimannya diberbagai bidang keilmuan tersebut, tak salah jika lantas dipundaknya disematkan beragam amanah. Disamping didapuk sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia Kota Pekalongan sekaligus diminta untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama’ Indonesia Jawa Tengan. Bahkan angota syuriah PBNU ini juga dipercaya sebagai Ketua Paguyuban Antar Umat Beriman (Panutan) Kota Pekalongan, serta dua kali menjabat Rais ‘Am Jam ‘iyyah Ahlith ath- Thariqah al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah.
Dipilihnya kembali sebagai Ketua organisasi yang merupakan salah satu Badan Otonom NU ini, kiranya tak berlebihan. Sebab sejak kepengurusan organisasi Thariqah itu berada dibawah kendali beliau, banyak sekali perkembangan yang telah ditorehkannya. Sekitar 30-an pengurus Idaroh Wusto telah terbentuk dan 200 lebih pengurus Idaroh Syu’biyah juga telah menyebar di berbagai cabang daerah.
Keberhasilan menata organisasi Thariqat tersebut tercatat menyebar dari Sabang sampai Merauke. Seperti perkembangan yang ada di Sumatra Utara dan Sulawesi yang sangat menggembirakan. Bahkan dari Papua pun juga mulai memperdalam ilmu-ilmu thariqah berkat kepemimpinannya pula, Hampir seluruh kelompok Thariqat berkembang dengan baik. Seperti thariqat Sadzaliyah, Kholidiyah, Naqsabandiyah, Syatariyah, Qodhiriyah, Tijaniyah dan seterusnya.
Termasuk keberhasilannya pula dalam menertibkan silsilah sanad thariaqat.
Yang paling mengembirakan, Mursyid Thariqah Sadzaliyah ini berhasil menebas fanatisme thariqat yang berdampak pada pengerdilan thariqat-thariqat yang lain. Sebab dipelupuk matanya, Perbedaan itu terlihat sebagai sesuatu yang indah.
Ibarat musik, meski ada perbedaan alat dan aliran, musiknya masih tetap indah untuk dinikmati. “Kalau kita mengikuti dinamika musik, itu luar biasa indahnya. Masing-masing gesekan bisa berpadu menjadi alunan music yang indah. Jadi, alat musiknya memang berbeda-beda, tapi ada harmoni, “ ujarnya memisalkan. “
Dalam sebuah orchestra, masing-masing alat music tak menonjolkan dirinya merasa yang paling penting. Dan masing-masing aliran tak bias mengklaim bahwa dirinya lah yang palinga benar, “ tandasnya.
Kakek lima cucu ini, ternyata memang mahir memainkan berbagai alat music, terutama alat music organ bahkan dari tangan beliau sudah lahir beberapa komposisi music. Dirumahnya memang terdapat seperangkat alat music gambus, yang siap dimainkan sewaktu-waktu. Untuk mengaktualisasikan hobinya itulah, Dibentuklah satu group music gambus yang biasa disebut Marawis.
Bersama lentik jemarinya yang memainkan denting piano, puluhan lagu irama padang pasir mengalun menyirami kalbu gersang pada kehidupan yang makin tak menentu.
Baginya, bermusik adalah merupakan sarana pergaulan yang bias menyentuh segala lapisan. Terutama kepada anak-anak muda.
Dengan daya tarik itulah mereka bisamengikutinya. Atas berbagai sepak terjang yang dilakukannya inilah, eksistensi thariqat menjadi lebih terbuka. Terbukti, kini banyak generasi muda yang berminat dan mulai aktif mengikutinya. “ Padahal sebelumnya mereka tak mengenal apa thariqah itu. Ini sekaligus menepis anggapan, bahwa thariqah hanyalah untuk sekelompok orang yang lanjut usia saja, “ ungkapnya bernada gembira.
Fungsi thariqah, menurut suami Syarifah Salmah Maula Khelah ini adalah untuk mendidik kehidupan manusia agar senantiasa berdekatan dengan Allah dan RasulNya dengan begitu manusia akan lebih mengerti untuk meningkatkan kesadarannya. Sementara buah thariqah, adalah merasa dilihat dan didengar oleh Allah, “Thariqah itu bukanlah ciptaan para syeikh, melinkan ajaran yang bersumber dari Rasulullah.
Itulah sebabnya, thariqah merupakan benteng dari berragam perbuatan syirik,” terang beliau. “Makanya dalam thariqah sering dikumandangkan do’a ; Ilahi anta maqsudi wa ridhaka mathlubi,” tambahnya menyontohkan.
Ketika manusia sering merasa menjadi bagian yang di lihat Tuhan, sambungnya, maka akan timbul reaksi dalam dirinya. Di antaranya adalah rasa malu kepada Nya. Perasaan semacam itu adalah merupakan tanda keimanan. Bermula dari merasa malu kepada Nabi, kepada ulama’, para pahlawan kusuma bangsa, orang tua, guru, hingga terakhir malu kepada sesamannya.
“Hendaknya kita membangun jiwa dengan senantiasa berdzikir menyebut asmaNya. Dengan begitu secara tidak langsung, kita selalu diingatkan bahwa diri kita sedang dilihat dan didengar oleh Allah,” terangnya bernada harap.
Pada taraf awal, ujarnya, mungkin belum bisa merasakan hasilnya. Namun ketika terus-menerus merasa dilihat dan di dengar Tuhan, tentu akan timbul perubahan dalam diri. Seperti halnya seorang pesilat. Karena kerap berlatih, maka sensor refleksnya menjadi hidup. “Ketika terpeleset, sembilan puluh persen dia akan selamat tanpa cidera. Sementara yang tak pernah latihan, akan lebih banyak cideranya ketimbang selamatnya,”ucapnya membandingkan.
Latihan-latihan semacam itulah, yang akan melahirkan rasa syukur atas segala karunia yang telah diberikanNya. Dan salah satu aplikasi dari rasa syukur itu, adalah dengan menjaga agar indera kita selalu mengerjakan kebaikan dan kebenaran.
Yakni dengan menjaga mata dari pandangan yang buruk, menjaga mulut dari ucapan yang kurang baik, dan seterusnya. “Mata, mulut, telinga dan seluruh anggota tubuh itu bisa dilatih. Demikian pula dengan hati. Cara menjaganya, adalah dengan selalu berprasangka baik terhadap orang lain,” tuturnya memberikan memberikan resep.
Habib Luthfi memang dikenal sebagai sosok yang inklusif dan egaliter. Itulah sebabnya, dirinya menolak tegas sikap tertutup yang kerap melakukan kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Sebab menurutnya, Nabi SAW tak pernah mengislamkan seseorang dengan pedang. Bahkan beliau menjaga hak –hak ekonomi kaum Yahudi.
“Sikap keras itulah yang biasanya membuat orang gampang mengkafirkan sesama agamanya,” keluhnya. “Padahal mengislamkan seorang saja, bukan kepalang susahnya. Lha masak mereka malah mengkafirkan orang yang sudah jelas-jelas Islam dengan seenaknya,” sesalnya.
Itulah sebabnya, Habib Luthfi menegaskan, bahwa menjaga harga diri bangsa adalah merupakan sebuah harga mati. Sebab dulu para pejuang dalam mewujudkan kemerdekaan ditempuhnya dengan darah dan air mata.
“Para pahlawan itu pasti merasa sedih, melihat bangsa dan umatnya begitu mudah dipecah-belah. Maka kita harus merapatkan barisan, agar tak gampang bercerai-berai hanya gara-gara warna kelompok dan kepentingan politik yang cuma sesaat,” tegasnya dengan penuh harap.
Senin, 07 Desember 2009
Pengamalan Tasawuf Ala Al Habib Luthfi
Berikut ini petikan wawancara crew Habibluthfiyahya.net dengan Al Habib Luthfi bin Yahya. Dalam wawancara kali ini Al Habib menjelaskan bagaimana tasuf dapat di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Apa pandangan-pandangan Al-Habib tentang tasawuf?
Tasawuf adalah pembersih hati. Dan tasawuf itu ada tingkatan-tingkatannya. Yang terpenting, bagaimana kita bisa mengatur diri kita sendiri. Semisal memakai baju dengan tangan kanan dahulu, lalu melepaskannya dengan tangan kiri.
Bagaimana kita masuk masjid dengan kaki kanan dahulu. Dan bagaimana membiasakan masuk kamar mandi dengan kaki kiri dulu dan keluar dengan kaki kanan. Artinya bagaimana kita mengikuti sunah-sunah Nabi. Itu sudah merupakan bagian dari tasawuf.
Bukankah hal semacam itu sudah diajarkan orang tua kita sejak kecil?
Para orang tua kita dulu sebenarnya sudah mengeterapkan tasawuf. Hanya saja hal itu tak dikatakannya dengan memakai istilah tasawuf. Mereka terbiasa mengikuti tuntunan Rasulullah. Seperti ketika mereka menerima pemberian dengan tangan kanan, berpakaian dengan memakai tangan kanan dahulu. Mereka memang tak mengatakan, bahwa itu merupakan tuntunan Nabi SAW.
Tapi mereka mengajarkan untuk langsung diterapkannya. Kini kita tahu kalau yang diajarkannya itu adalah merupakan tuntunan Nabi. Itu adalah tasawuf. Sebab tasawuf itu tak pernah terlepas dari nilai-nilai akhlaqul karimah. Sumber tasawuf itu adalah adab. Bagaimana adab kita terhadap kedua orang tua, bagaimana adab pergaulan kita dengan teman sebaya, bagaimana adab kita dengan adik-adik atau anak-anak kita. Bagaimana adab kita terhadap lingkungan kita.
Termasuk ucapan kita dalam mendidik orang-orang yang ada di bawah kita. Kepada anak-anak kita yang aqil baligh, kita harus bener-bener menjaganya agar jangan sampai mengeluarkan ucapan yang kurang tepat kepada mereka. Sebab ucapan itu yang diterima dan akan hidup di jawa anak-anak kita.
Bagaimana sikap kita berada di tengah-tengah lingkungan masyarakat yang sudah carut maut?
Mampukah ketika kita berhadapan dengan lingkungan yang demikian itu? Ketika kita asik-asiknya bergurau, maka berhentilah sejenak. Kita koreksi apakah ada sesuatu yang kurang pantas? Agar hal yang demikian itu tak dicontoh atau ditiru oleh anak-anak kita. Itu sudah merupakan tasawuf. Jadi dalam rangka pembersihan hati, bisa dimulai dari hal-hal kecil semacam itu.
Lalu kita tingkatkan dengan tutur sikap kita terhadap orang tua. Ketika kita makan bersama orang tua. Janganlah kita menyantap lebih dahulu sebelum bapak-ibu kita memulai dulu. Janganlah kita mencuci tangan dahulu sebelum kedua orang tua kita mencuci tangannya. Makanlah dengan memakai tangan kanan. Dan jangan sampai tangan kiri turut campur kecuali itu dalam kondisi darurat. Sebab Rasulullah tak pernah makan dengan kedua tangannya sekaligus. Ini sudah tasawuf.
Apa yang sebenarnya menarik dari Al-Habib, sehingga begitu getol menekuni dunia tasawuf?
Yang menarik, karena tasawuf itu mengajarkan pembersihan hati. Saya ingin mempunyai hati yang sangat bersih. Jadi tak sekedar bersih tidak sombong karena ilmunya, tidak sombong karna setatusnya, tidak sombong karena ini dan itu. Namun hati ini betul-betul mulus, selalu melihat kepada kebesaran Allah SWT yang diberikan kepada kita. Itu karena fadhalnya Allah SWT.
Sehingga kita tidak lagi mempunyai prasangka-prasangka yang buruk, apalagi berpikiran jelek dalam pola pikir dan lebih-lebih lagi di hati. Sebab tasawuf itu tazkiyatul qulub, yakni untuk membersihkan hati. Jika hati kita ini bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi-halangi hubungan kita kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga kita senantiasa mengingat Allah.
Ibarat besi, hati kita itu sebenarnya putih bersih. Hanya karena karatan yang bertumpuk-tumpuk lantaran tak pernah kita bersihkan, sehingga cahaya hati itu tertutup oleh tebalnya karat tadi. Na’udzubillah kalau sampai hati kita seperti itu.
Lantas dari mana kita mesti memulai untuk pembersihan hati tersebut?
Ikutlah dahulu ajaran fiqih yang tertera dalam kitab-kitab fiqh. Seperti arkanus shalat (rukun-syarat sholat), lalu adabut shalat, adabut thaharah dan seterusnya. Marilah itu semua kita pelajari dan kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Ketika kita diundang untuk menghadiri acara walimah di sebuah gedung misalnya, maka kenakanlah pakaian yang bagus-bagus.
Sebab itu demi menghormat dan untuk menyaksikan kehalalan kedua mempelai di pelaminan. Untuk menghormati acara tersebut, kita menggunakan pakaian yang rapi. Sebab pada hakikatnya, kita telah menghormati Allah SWT yang telah menghalalkan hal tersebut.
Kita juga menghormati yang telah mengundang kita, serta menghormati sesama kita dalam gedung atau dalam jamuan tersebut. Kalau kita bisa menyaksikan aqdun nikah (akad nikah) secara demikian, mengapa kalau kita menghadap langsung kepada Allah SWT, tidak pernah melakukan penghormatan yang demikian itu?
A-Habib dikenal sebagai mursyid thariqah, tetapi kelihatan gemar memainkan alat musik?
Di sana kita akan menemukan kekaguman. Ilmullah yang ada dalam music itu sendiri. Diantaranya notnya itu hanya ada 7; do re mi fa sol la si do, do si la sol fa mi re do. Sedangkan oktafnya ada 7, suara miringnya 5, jadi ada 12. Yang memakai adalah di seliruh dunia, dan mengeluarkan lagu yang beragam. Itu merupakan satu hal yang sangat menarik.
Sumber : http://habiblutfiyahya.net
Kearifan Ulama Tanaha Jawa
Di Jawa ada Kiyai namanya Kiyai Hasan, daerah Kraksan. Beliau itu termasuk wali Allah yang luar biasa. Kalau beliau mau kedatangan Ahli Bait, keturunan nabi, Habib, beliau lari menjemput sambil berkata ada raihatul musthafa, ada bau harum badan Rasulullah Saw. Padahal kuturunan nabi itu entah baru sampai dimana.
Diantara Karamahnya. Suatu ketika, saat ada seorang haji menyewa mobil, kebetulan yang jadi sopirnya Ahli Bait (Habib/Syarif). Cuma haji ini tidak tahu kalau itu adalah Ahli Bait. Kiayi Hasan bilang sama anak-anaknya: tolong kamar tidur dirapikan kita mau kedatangan Habib. Habibnya siapa? Tanya putra kiyahi Hasan. Nanti saya tunjukan kalau sudah datang, jawab kiyahi itu.
Setelah haji itu tiba dirumah kiyahi Hasan, kiyahi Hasan bertanya pada haji itu, Haji supirmu dimana? Sopir kula asaren kiyai, Sopir saya tidur Kiyai, Jawab Haji. Kiyahi balik bertanya, e'ka'emmah (dimana)? Di Mobil Kiyahi, jawab Haji. Saya mau dekati dia boleh ya, kiyahi meminta ijin.
Yi tangi Yi' (Habib bangun Bib). Sopir itu kaget, karena seumur-umur tidak ada yang manggil Ayi', atau Habib. Akhirnya dikenal dengan bangsa al Jufri. Kiyahi Hasan ditanya: darimana tahu sopir itu Habib? Dari bau keringatnya, bau keringat kangjeng Nabi, kata kiyai Hasan.
Itu hebatnya ulama-ulama kita dahulu, sejauh itu pandangannya, dari hormatnya pada Ahli Bait Nabi. Dan tokoh-tokoh itu bukan satu dua, Imam Subki, Qadhi Iyadh tahu bagaimana kedudukan Ahli Bait an Nabi dan juga ulama-ulama lain, ujar Al Habib M. Lutfi bin Ali Yahya.
Sumber : www.habiblutfiyahya.net
Minggu, 06 Desember 2009
Tahapan Mengenal Allah Swt
Berikut ini pandangan Al Habib Luthfi tentang tahapan mengenal Allah Swt. Hasil wawancara Crew habiblutfiyahya,net dengan beliau.
Hly.net: Bagaimana cara belajar mengenal Allah?
Al Habib: Kita mengenali tentang apa yang diciptakan oleh Allah terlebih dahulu. Dari mengenali ciptaanNya itulah, lantas kita mengenali siapa yang menciptakannya. Nah, disitulah kita akan melihat kebesaran-kebesaran Allah SWT yang ditunjukkan kepada kita semua.
Setelah kita sudah mengenalnya, lalu kita tingkatkan lagi. Sadarkah kita sebagai hamba, mengertikah kita sebagai hamba, tentang apa kewajiban kita sebagai seorang hamba? Lantas bagaimana seharusnya perilaku seorang hamba yang telah mengenal kepada Tuhannya? Setelah itu kita tingkatkan lagi ke atas. Kita ini sejatinya diundang oleh waktu. Maka kita harus menghormati waktu.
Begitu tingkat kesadarannya sudah tinggi, maka kalau waktu shalat sudah datang kenapa kita mesti menunda waktu untuk bergegas melakukannya? Seharusnya kita kan justru bersiap-siap untuk menunggu datangnya waktu tersebut, menghormat panggilan Allah SWT untuk shalat.
Bukankah setiap kali berkumandang adzan, itu merupakan panggilan yang telah memperingatkan kita? Sehingga ketika terdengar suara adzan, kita merasa senang dan gembira, lantas bersiap-siap untuk hormat akan datangnya panggilan Allah tersebut.
Hly.net: Tetapi dalam kenyataannya, hal demikian terasa sulit untuk dilakukan?
Al Habib: Untuk meraih tingkat demi tingkat semacam itu, memang bukan hal yang gampang. Oleh karnanya, kita perlu sering datang ke suatu majlis dengan para ulama’, para shalihin, untuk mendengarkan fatwa-fatwanya.
Kita harus seringa pula mendengarkan petuah dan pandangan-pandangan para auliyaus-shalihin. Rasanya terlalu sulit untuk dapat meraihnya lebih jauh, jika kita jauh dari beliau-beliau itu. Sebab mereka bagaikan ruang yang memiliki lentera, mempunyai batrainya, nah, kita ini bagian yang dioborinya. Semakin kita dekat kepada orang-orang sholihin, maka akan lebih jauh lagi kita dapat mengenal Allah SWT dan RasulNya.
Hly.net: Jalan tercepat yang bagaimanakah, sehingga manusia merasa dirinya senantiasa bersama dengan Allah SWT Dzat yang selalu membimbingnya?
Al Habib: Saya sendiri masih bingung, melihat bagaimana proses orang yang makan langsung sepiring sekali telan? Padahal seharusnya kita menelan sesuap demi sesuap. Yang pentingkan sepiring bisa habis. Namun apa jadinya dipencernaan, jika mulut kita tidak pernah mengunyah untuk membantu pancernaan? Apa hasilnya atau apa yang akan terjadi dalam proses pencernaan tersebut.
Memang menarik, waktu makan yang lebih singkat dan lebih cepat. Jalan yang paling cepat dan tepat untuk mencapai proses makanan, apa nasinya yang lebih baik dibubur saja biar lebih encer, supaya menelannya lebih mudah. Tapi nyatanya semua itu sudah ada tempatnya. Yang mempercepat dan sebagainya itu, sudah ada bagiannya masing-masing. Nah, maka dari itu, tahapan untuk secepat itu tidak mungkin mudah. Contohnya ya seperti orang yang makan sepiring langsung telan tadi.
Hly.net: Lalu apa yang mesti dilakukan, agar dalam beraktivitas kita masih tetap bisa mengingat Allah?
Al Habib: Kalau tidak dilatih ya mana mungkin? Pada awalnya hati itu harus dikasih latihan untuk senantiasa mengingatNya. Itu memang tak mudah. Terkadang sering lupa. Tetapi setelah terbiasa, maka bagian tubuh yang kita latih ini punya reflex sendiri sesuai dengan tempatnya masing-masing.
www.habiblutfiyahya.ne
Rabu, 01 Juli 2009
|
Oleh: Al Habib M. Lutfi bin Ali Yahya
Taswuf sumbernya ada tiga; pertama tasawuf indal akhlaq wal adab, yang kedua tasawuf indal Fuqaha; tasawuf menurut fuqaha, tasawuf inda ahlil Ma’rifat. Ini yang perlu diketahui. Tasawuf inda akhlaq wal adab bisa kita terapkan sedini mungkin untuk anak-anak kita. Terutama makan; pake tangan kanan, di ajari sedini mungkin, masuk kamar mandi kaki kiri, keluar kaki kanan ini tasawuf akhlak wal adab. Karena sumbernya tasawuf adalah min akhlaq wal adab, dari pekerti dan tatakrama.
Yang kedua tasawuf indal fuqaha: bagimana fiqih ini tidak berhenti hanya secara fiqhiah belaka. Contoh orang kalau sudah menjalakan wudhu mau sholat, setelah dipake shalat wudhunya kemana? Selesai kan?! Nah orang tasawuf tidak mau. Tasawuf menuntut sejauhmana anda membawa wudhu ini terlepas daripada kefardhuan yang sudah anda laksanakan. Apakah anda wudhu didalam shalat hanya terikat oleh syarat-syarat atau hukum-hukum syari’at. Anda dituntut oleh ulama tasawuf agar wudhumu bisa mewudhui bathiniah Anda atau tidak. Dan seterusnya. Disinilah hebatnya ilmu tasawuf.
Tasawuf inda ahli ma’rifat, nah disni banyak orang terjebak. Dalam dunia tasawuf, dalam ilmu ma’rifat mereka yang perbendaharaannya belum mumpuni, belum mencukupi seringkali terjebak. Akhirnya dia memunculkan analis-analis, seolah-olah tasawuf berbau Budha tasawuf, berbau Hindu. Karena apa? Mereka tidak tahu. Ilmu ma’rifatnya saja mereka tidak mengerti, apa sebetulnya ma’rifat itu. Dari kekosongan itu, mereka belajar menganalis tasawuf; orang-orang yang sudah ahli Marifat, tinggi sekali, dengan bahasanya yang luar biasa. Wong dalam Tasawuf fuqaha saja mereka sudah tidak bias memahami.
Contoh Imam Abu Hamid bin Muhammad bin Muhammad al Ghazali menjawab dunia falsafah, menjawab dunia tauhid aliarn ilmu kalam pada waktu berkembang macem-macem faham. Dijawab dengan tasawuf fuqaha, yaitu dengan munculnya ‘Ihya Ulumiddin’.
Mengapa dalam kitab Ihya ulumiddin banyak hadits-hdits maudu’ disamping dhaif. Karena apa? Pendapatnya ahli falasifah dijawab oleh Imam Al Ghazali dengan hadits yang maudhu saja, masih lebih baik haidits maudu’ daripada pendapat-pendapat kaum falasifah. Masih tepat, karena apa? Walaupun ini maudhu, tapi yang menggunakannya adalah orang-orang yang mengerti ma’rifat kepada Allah. Makanya disini digunakan oleh Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali.
sumber. www.habiblutfiyahya.net
Kamis, 25 Juni 2009
|
Rais Aam Jam’iyyah Ahlut Thariqah Al Mu’tabarah An Nahdliyyah (Jatman) Habib Lutfi bin Ali bin Yahya mengaku kalah 3-0 dengan para Walisongo, meskipun saat ini mereka sudah meninggal.
Kekalahan pertama, meskipun para walisongo sudah meninggal, mereka masih bisa berdakwah. Setiap orang yang berkunjung ke makamnya pasti membaca yasin, tahlil dan ibadah lainnya.
“Mereka sudah meninggal 400 tahun yang lalu, tapi di dalam kuburnya, mereka masih berdakwah,” katanya dalam penutupan Munas Jatman yang diselenggarakan di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Ahad (29/6) malam. Kekalahan kedua, para wali tersebut sudah meninggal, tetapi keberadaan makam mereka yang selalu ramai dikunjungi telah menjadikan lokasi tersebut sebagai pusat perekonomian bagi masyarakat di sekitarnya. “Orang yang mati saja masih bisa memberi makan orang yang hidup,” katanya. Kekalahan ketiga, para wali tersebut telah menjadi pemersatu ummat. Di makam mereka, umat berdzikir dengan cara dan tarekatnya masing-masing dan tidak ada yang menyalahkan fihak lainnya atau menganggap dirinya paling benar.
“Sementara itu, kita yang hidup saling mengklaim bahwa dirinya yang paling benar, padahal, cuma perbedaan cara dalam berzikir. Kita seharusnya malu. Mau ditaruh dimana muka kita dihadapan rasulullah,” kata habib yang dianggap oleh sebagian anggota masyarakat sebagai seorang wali ini.
Ditambahkannya, para wali songo yang hanya berjumlah sembilan orang ternyata mampu mengislamkan nusantara dengan metode dakwahnya yang sangat efektif. “Kita saat ini mengislamkan satu orang saja susahnya setengah mati,” ujarnya.
Keberadaan jam’iyyah tarekat menurutnya menghadapi tantangan yang tidak semakin kecil pada era modern ini. Anggota jam’iyyah tarekat harus mampu memberi keteladan bagi yang lain serta mampu menjadi perekat bagi umat dan bangsa.
“Seorang mukmin harus seperti tawon, bukan kumbang, yang mendekati bunga dan memprosesnya menjadi madu yang bermanfaat bagi pribadinya, keluarganya, masyarakat dan bangsanya,” paparnya. (AlBadar.net/mkf)
Tentang Saya
- Ibnu Sulaeman
- ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa ibnu sulaeman Bin Surip Bin Toyib Bin Mustofa